Aku baru menyadarinya, ya, mungkin. Barusan? Ah, tidak, beberapa menit yang lalu? Sepertinya terlalu sebentar. Beberapa jam yang lalu? Hm, terlalu lama. Sepertinya aku tidak termangu selama itu. Ah, sudahlah, lagipula itu tidak terlalu penting.
Aku baru menyadari suatu hal. Yang membuatku berdiri terdiam di sebuah sudut stasiun yang penuh sesak dengan orang. Memandang lalu-lalang yang penuh kesibukan, entah apa yang masing-masing mereka pikirkan. Mungkin kau akan mengira aku hanyalah orang kurang kerjaan yang sibuk memelototi orang lain. Tapi nyatanya pikiranmu sama sekali tidak salah, aku adalah orang kurang kerjaan yang sibuk memenuhi pikiran dengan orang lain, dengan bayang-bayang orang lain yang tidak bisa kuhilangkan.
Ya, orang lain. Kau pernah bilang aku selalu memenuhi pikiranku sendiri dengan orang lain. Apa aku senaif itu untuk terus memikirkan orang lain? bahkan kau bilang aku harus menghentikannya. Kau membuat kepalaku pusing dengan apa yang kau katakan. Kau membuatku pusing dengan bayang-bayangmu. Dengan kata-katamu itu.
Aku tidak pernah memikirkan orang lain, aku bahkan terlalu egois untuk memikirkan diriku sendiri. Seharusnya kau merasa benar-benar beruntung untuk menempati sebagian otakku. Selama beberapa tahun ini, kupikir aku akan menjadi gila untuk terus berada di sampingmu. Melihatmu tertawa dan bersedih. Mendengarkanmu berbicara ini dan itu. Entah kenapa, aku juga sangat ingin mengetahui jawaban dari semua ini. Setelah setahun lewat, aku baru menyadarinya.
Aku merogoh saku ku, mengeluarkan sebuah player. Mengerjap, melihat keadaan sekeliling. Orang silih berganti, masuk dan keluar dari pintu kereta. Kau belum juga datang. Sudah ratusan orang yang kulihat semenjak pagi ini, dan kau belum juga muncul. Aku memandang langit-langit, mendesah. Aku memasang headset playerku erat ke telinga. Menekan tombol play dan memasang volume maksimal.
Lagu itu terputar dengan lembut. Bahkan volume sekeras apapun tidak akan mengubahnya. Lagu ini. Lagu yang dulu kau putar ribuan kali, lagu yang selalu kau senandungkan ketika kau berada disampingku. Kupikir aku akan segera menjadi gila apabila terus mendengarkan lagu ini. Ya, mungkin ketika kau melihatku sekarang, kau sudah bakal berpikir bahwa aku sudah menjadi gila.
Ya, aku sudah gila. Semenjak kau pergi, aku tidak pernah merasa hidupku kembali seperti layaknya semula.
Kau sudah terlalu lama berada disampingku. Kembali seperti semula adalah hal yang tidak mungkin. “seperti semula” bagiku, adalah ketika kau berada di sampingku. Diriku yang semula.
Aku selalu merasa bahwa kehilangan adalah suatu hal yang konyol. Kehilangan sesuatu yang penting, kupikir sama saja seperti saat dimana kita kehilangan suatu hal yang tidak penting. Tidak perlu berlebihan, panik dan bersedih. Kupikir kita hanya perlu terbiasa dengan kehilangan itu. Aku sudah tahu hal itu, benar-benar tahu karena aku sendiri yang berpikir begitu.
Kalau kau bilang aku orang yang naïf, mungkin sekarang aku takkan mengelak lagi.
Kau benar, aku terlalu naïf, bahkan untuk menjadi diriku sendiri. Ketika kupikir aku sudah mulai terbiasa dengan ketidakadaan ini, sudut mataku sudah menggenang. Aku berusaha, mungkin terlalu keras untuk menahannya agar tidak jatuh ke bawah.
Ya, sepertinya aku terlalu konyol dan naïf ketika aku menyadari aku kehilanganmu. Mungkin kau akan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar hal ini, lalu berkata, “aku belum mati, bodoh!” sembari memukul kepalaku.
Aku menyandarkan diriku ke sebuah tiang, ah, mungkin bukan tiang. Sebuah dinding besar menjadi salah satu penyokong stasiun ini. merosot, terduduk. Aku sudah terlalu lelah menunggu. Entahlah, ketika ditanya menunggu apa, aku tak pernah bisa menjawab. Aku hanya termangu disini, entah sudah beberapa jam. Seperti Hachiko yang menunggu majikannya yang takkan kembali. Tanpa kepastian.
Apa kau akan kembali? Sudah setahun lebih aku terus berpikir begitu. Menatap pintu shinkansen yang datang dan pergi, menunggu dirimu yang tak pernah muncul. Konyol, aku tahu. Mengapa aku tidak menghubungi mu saja? Mengapa aku seperti layaknya pengecut begini? Bahkan akupun tidak pernah mengerti. Aku takut aku akan mendapat jawaban, “aku takkan pulang,” atau “aku masih sibuk mengurus sekolahku,”. Terlalu takut untuk sekedar mendengar suaramu yang terdengar jauh, bercerita akan hal yang tidak kumengerti.
Curang. Kau curang. Disana banyak orang yang dapat bersamamu, yang dapat berjalan disampingmu dan tertawa bersamamu. Kenapa aku disini, sendirian, menunggu mu, tidak dapat melihatmu? Pernahkah kau mengetahui bagaimana rasanya?
Uh, mungkin aku sudah terlalu banyak berbicara. Terlalu banyak berpikir. Lagu yang terus terputar di telingaku ini membuatku berhalusinasi. Aku membenamkan kepalaku diantara kedua lutut. Apa? apa itu tadi? siapa yang kulihat? Apakah bayang-bayangku sudah kembali menjadi semula?
Kau tahu, aku sudah begini selama setahun. Aku sudah begini sejak aku kehilanganmu. Selalu menunggu di stasiun hingga petang hari, hingga wajahku dihapal oleh para penjaga stasiun, aku tak peduli.
Selama setahun ini, kau hanyalah sebuah bayang-bayang. Kau bagaikan fantasi yang tak tersampaikan. Kau yang tidak ada disampingku hanya menjadi sebuah objek kefrustasian. Kau tahu? kau tahu apa yang baru kusadari tadi? apa kau mengetahuinya?
Aku menyadarinya, setahun ini bukanlah hidup. Kehidupan tanpamu sama sekali bukan hidup. Aku menyadari bahwa aku ingin terus berada di sampingmu. Ingin terus menertawakan hal konyol bersamamu. Kau tahu? musim demi musim terus berganti, namun hatiku selalu terhenti di musim panas tahun lalu, ketika kau mengucapkan selamat tinggal secara tiba-tiba. Yang membuat hatiku hancur menjadi bulir-bulir pasir.
Ketika aku berpikir aku hanya ingin mencari sebuah keberanian untuk melupakanmu, seperti hari ini, seperti detik ini ketika aku mulai berniat untuk berusaha,
Kau jahat. Benar-benar jahat. Dan aku bodoh, benar-benar bodoh.
Ya, seperti detik ini, ketika kau tiba-tiba muncul dihadapanku, ketika aku mendongak setelah mengeluarkan sedikit keberanian untuk melihat kenyataan.
Senyuman itu, senyuman yang membuat fantasiku membuncah, senyuman yang biasanya. Tidak ada yang berubah dari seorang Kau. Kau masih tetap saja sama. Masih dengan cara berpakaian yang sama. Seakan-akan kami bertemu untuk bermain seperti biasanya.
Licik. Kau licik.
“ Ou, Natsu, lama tidak berjumpa, kau sehat? “ aku kembali membenamkan kepalaku di antara kedua lutut untuk yang kedua kalinya. Menyembunyikan sebagian perasaanku yang meluap-luap, rasanya air yang menggenang di mataku sudah mencapai batas. Jangan, jangan melihatnya. Kumohon.
“ Hei, Natsu? Kau kenapa?” kau mendekat. Berjongkok di hadapanku. Suara yang paling ingin kudengar, wajah yang paling ingin kulihat. Sebuah fantasi yang sia-sia, tetapi sekarang muncul di hadapanku secara nyata. Ketika salah satu bagian dari otakku berbicara bahwa ini bukanlah fantasi, aku terserang wabah dilema dan air mata ini mengalir dengan sendirinya.
Aku kembali menyadari satu hal. Aku kembali menyadari bahwa aku begitu merindukan mu. Begitu ingin bertemu sampai aku tidak tahu harus bagaimana.
Aku mengangkat wajah. Tak peduli wajah menangisku akan kau lihat. Memandangmu yang terheran-heran lekat-lekat.
“ BODOH! “ dalam satu hentakan, aku memukul kepalamu sekeras yang aku pernah bisa sampai kau terjungkal dan dilihat oleh orang-orang. Kau meringis sembari mengusap kepalamu. Aku ingin berteriak padamu bahwa kau benar-benar bodoh. Seenaknya muncul di hadapan orang lain setelah sekian lama menghilang dari pandangan, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa, kau pikir aku ini apa?
Kau tersenyum. senyum yang dimataku sudah menyiratkan kemenangannya. Ia berhasil memenangkan hatiku yang sekarang tak karuan. Bodoh, bodoh. Aku menunduk, menangis keras seperti anak kecil yang kehilangan permen yang ia sukai. Mengapa kau tidak pernah menyadarinya?
Kau mengusap puncak kepalaku, pelan sembari tertawa.
“Aku pulang, Natsu,” bisiknya diantara keramaian. Aku tertegun. Menghentikan tangisku seketika, mengusap sudut mataku dan mendongak. Menatap wajahmu yang cerah seperti biasanya. Aku tahu bahwa aku tidak pernah akan kembali seperti semula.
“ okaeri. .” hampir tak terdengar aku membalas salamnya.
Aku yakin setiap orang tidak akan pernah kembali seperti semula. Tidak perlu, tidak perlu kembali seperti semula. Semua sudah berubah dan yang lain pasti akan berubah. Cukup satu yang kurasa tidak perlu berubah.
Aku ingin selalu berada disampingmu. Tersenyum dan tertawa bersamamu. Entah beberapa musim akan terus berganti, kupikir ini takkan berubah. Biarkan aku berada disampingmu saja sudah lebih dari cukup, dan kuharap akan terus begini.
Hei, dan manusia memang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan?
Aku baru menyadari suatu hal. Yang membuatku berdiri terdiam di sebuah sudut stasiun yang penuh sesak dengan orang. Memandang lalu-lalang yang penuh kesibukan, entah apa yang masing-masing mereka pikirkan. Mungkin kau akan mengira aku hanyalah orang kurang kerjaan yang sibuk memelototi orang lain. Tapi nyatanya pikiranmu sama sekali tidak salah, aku adalah orang kurang kerjaan yang sibuk memenuhi pikiran dengan orang lain, dengan bayang-bayang orang lain yang tidak bisa kuhilangkan.
Ya, orang lain. Kau pernah bilang aku selalu memenuhi pikiranku sendiri dengan orang lain. Apa aku senaif itu untuk terus memikirkan orang lain? bahkan kau bilang aku harus menghentikannya. Kau membuat kepalaku pusing dengan apa yang kau katakan. Kau membuatku pusing dengan bayang-bayangmu. Dengan kata-katamu itu.
Aku tidak pernah memikirkan orang lain, aku bahkan terlalu egois untuk memikirkan diriku sendiri. Seharusnya kau merasa benar-benar beruntung untuk menempati sebagian otakku. Selama beberapa tahun ini, kupikir aku akan menjadi gila untuk terus berada di sampingmu. Melihatmu tertawa dan bersedih. Mendengarkanmu berbicara ini dan itu. Entah kenapa, aku juga sangat ingin mengetahui jawaban dari semua ini. Setelah setahun lewat, aku baru menyadarinya.
Aku merogoh saku ku, mengeluarkan sebuah player. Mengerjap, melihat keadaan sekeliling. Orang silih berganti, masuk dan keluar dari pintu kereta. Kau belum juga datang. Sudah ratusan orang yang kulihat semenjak pagi ini, dan kau belum juga muncul. Aku memandang langit-langit, mendesah. Aku memasang headset playerku erat ke telinga. Menekan tombol play dan memasang volume maksimal.
Lagu itu terputar dengan lembut. Bahkan volume sekeras apapun tidak akan mengubahnya. Lagu ini. Lagu yang dulu kau putar ribuan kali, lagu yang selalu kau senandungkan ketika kau berada disampingku. Kupikir aku akan segera menjadi gila apabila terus mendengarkan lagu ini. Ya, mungkin ketika kau melihatku sekarang, kau sudah bakal berpikir bahwa aku sudah menjadi gila.
Ya, aku sudah gila. Semenjak kau pergi, aku tidak pernah merasa hidupku kembali seperti layaknya semula.
Kau sudah terlalu lama berada disampingku. Kembali seperti semula adalah hal yang tidak mungkin. “seperti semula” bagiku, adalah ketika kau berada di sampingku. Diriku yang semula.
Aku selalu merasa bahwa kehilangan adalah suatu hal yang konyol. Kehilangan sesuatu yang penting, kupikir sama saja seperti saat dimana kita kehilangan suatu hal yang tidak penting. Tidak perlu berlebihan, panik dan bersedih. Kupikir kita hanya perlu terbiasa dengan kehilangan itu. Aku sudah tahu hal itu, benar-benar tahu karena aku sendiri yang berpikir begitu.
Kalau kau bilang aku orang yang naïf, mungkin sekarang aku takkan mengelak lagi.
Kau benar, aku terlalu naïf, bahkan untuk menjadi diriku sendiri. Ketika kupikir aku sudah mulai terbiasa dengan ketidakadaan ini, sudut mataku sudah menggenang. Aku berusaha, mungkin terlalu keras untuk menahannya agar tidak jatuh ke bawah.
Ya, sepertinya aku terlalu konyol dan naïf ketika aku menyadari aku kehilanganmu. Mungkin kau akan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar hal ini, lalu berkata, “aku belum mati, bodoh!” sembari memukul kepalaku.
Aku menyandarkan diriku ke sebuah tiang, ah, mungkin bukan tiang. Sebuah dinding besar menjadi salah satu penyokong stasiun ini. merosot, terduduk. Aku sudah terlalu lelah menunggu. Entahlah, ketika ditanya menunggu apa, aku tak pernah bisa menjawab. Aku hanya termangu disini, entah sudah beberapa jam. Seperti Hachiko yang menunggu majikannya yang takkan kembali. Tanpa kepastian.
Apa kau akan kembali? Sudah setahun lebih aku terus berpikir begitu. Menatap pintu shinkansen yang datang dan pergi, menunggu dirimu yang tak pernah muncul. Konyol, aku tahu. Mengapa aku tidak menghubungi mu saja? Mengapa aku seperti layaknya pengecut begini? Bahkan akupun tidak pernah mengerti. Aku takut aku akan mendapat jawaban, “aku takkan pulang,” atau “aku masih sibuk mengurus sekolahku,”. Terlalu takut untuk sekedar mendengar suaramu yang terdengar jauh, bercerita akan hal yang tidak kumengerti.
Curang. Kau curang. Disana banyak orang yang dapat bersamamu, yang dapat berjalan disampingmu dan tertawa bersamamu. Kenapa aku disini, sendirian, menunggu mu, tidak dapat melihatmu? Pernahkah kau mengetahui bagaimana rasanya?
Uh, mungkin aku sudah terlalu banyak berbicara. Terlalu banyak berpikir. Lagu yang terus terputar di telingaku ini membuatku berhalusinasi. Aku membenamkan kepalaku diantara kedua lutut. Apa? apa itu tadi? siapa yang kulihat? Apakah bayang-bayangku sudah kembali menjadi semula?
Kau tahu, aku sudah begini selama setahun. Aku sudah begini sejak aku kehilanganmu. Selalu menunggu di stasiun hingga petang hari, hingga wajahku dihapal oleh para penjaga stasiun, aku tak peduli.
Selama setahun ini, kau hanyalah sebuah bayang-bayang. Kau bagaikan fantasi yang tak tersampaikan. Kau yang tidak ada disampingku hanya menjadi sebuah objek kefrustasian. Kau tahu? kau tahu apa yang baru kusadari tadi? apa kau mengetahuinya?
Aku menyadarinya, setahun ini bukanlah hidup. Kehidupan tanpamu sama sekali bukan hidup. Aku menyadari bahwa aku ingin terus berada di sampingmu. Ingin terus menertawakan hal konyol bersamamu. Kau tahu? musim demi musim terus berganti, namun hatiku selalu terhenti di musim panas tahun lalu, ketika kau mengucapkan selamat tinggal secara tiba-tiba. Yang membuat hatiku hancur menjadi bulir-bulir pasir.
Ketika aku berpikir aku hanya ingin mencari sebuah keberanian untuk melupakanmu, seperti hari ini, seperti detik ini ketika aku mulai berniat untuk berusaha,
Kau jahat. Benar-benar jahat. Dan aku bodoh, benar-benar bodoh.
Ya, seperti detik ini, ketika kau tiba-tiba muncul dihadapanku, ketika aku mendongak setelah mengeluarkan sedikit keberanian untuk melihat kenyataan.
Senyuman itu, senyuman yang membuat fantasiku membuncah, senyuman yang biasanya. Tidak ada yang berubah dari seorang Kau. Kau masih tetap saja sama. Masih dengan cara berpakaian yang sama. Seakan-akan kami bertemu untuk bermain seperti biasanya.
Licik. Kau licik.
“ Ou, Natsu, lama tidak berjumpa, kau sehat? “ aku kembali membenamkan kepalaku di antara kedua lutut untuk yang kedua kalinya. Menyembunyikan sebagian perasaanku yang meluap-luap, rasanya air yang menggenang di mataku sudah mencapai batas. Jangan, jangan melihatnya. Kumohon.
“ Hei, Natsu? Kau kenapa?” kau mendekat. Berjongkok di hadapanku. Suara yang paling ingin kudengar, wajah yang paling ingin kulihat. Sebuah fantasi yang sia-sia, tetapi sekarang muncul di hadapanku secara nyata. Ketika salah satu bagian dari otakku berbicara bahwa ini bukanlah fantasi, aku terserang wabah dilema dan air mata ini mengalir dengan sendirinya.
Aku kembali menyadari satu hal. Aku kembali menyadari bahwa aku begitu merindukan mu. Begitu ingin bertemu sampai aku tidak tahu harus bagaimana.
Aku mengangkat wajah. Tak peduli wajah menangisku akan kau lihat. Memandangmu yang terheran-heran lekat-lekat.
“ BODOH! “ dalam satu hentakan, aku memukul kepalamu sekeras yang aku pernah bisa sampai kau terjungkal dan dilihat oleh orang-orang. Kau meringis sembari mengusap kepalamu. Aku ingin berteriak padamu bahwa kau benar-benar bodoh. Seenaknya muncul di hadapan orang lain setelah sekian lama menghilang dari pandangan, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa, kau pikir aku ini apa?
Kau tersenyum. senyum yang dimataku sudah menyiratkan kemenangannya. Ia berhasil memenangkan hatiku yang sekarang tak karuan. Bodoh, bodoh. Aku menunduk, menangis keras seperti anak kecil yang kehilangan permen yang ia sukai. Mengapa kau tidak pernah menyadarinya?
Kau mengusap puncak kepalaku, pelan sembari tertawa.
“Aku pulang, Natsu,” bisiknya diantara keramaian. Aku tertegun. Menghentikan tangisku seketika, mengusap sudut mataku dan mendongak. Menatap wajahmu yang cerah seperti biasanya. Aku tahu bahwa aku tidak pernah akan kembali seperti semula.
“ okaeri. .” hampir tak terdengar aku membalas salamnya.
Aku yakin setiap orang tidak akan pernah kembali seperti semula. Tidak perlu, tidak perlu kembali seperti semula. Semua sudah berubah dan yang lain pasti akan berubah. Cukup satu yang kurasa tidak perlu berubah.
Aku ingin selalu berada disampingmu. Tersenyum dan tertawa bersamamu. Entah beberapa musim akan terus berganti, kupikir ini takkan berubah. Biarkan aku berada disampingmu saja sudah lebih dari cukup, dan kuharap akan terus begini.
Hei, dan manusia memang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan?
~owari~
28 Agustus 2010, 05:41
Inspirated by song : YUI – M
.
“itsumo issho ni itakatta,
tonari de warattetakatta,
kisetsu wa mata kawaru no ni
kokoro dake tachidomatta mama”
No comments:
Post a Comment