another.. cheesy story. for assignment, actually.
Kupikir hari itu hari yang cerah, seakan matahari dan seluruh pasukannya memberkati hari yang mungkin sudah berapa puluh waktu kuimpikan dalam benak. Aku hanyalah seorang gadis biasa, yang selalu menunggu hari dimana aku bisa tersenyum bahagia di pelaminan, menggamit lengan pasanganku dengan bangga, memakai pakaian pernikahan yang mewah dan berdandan jelita. Kupikir hari itu adalah hari yang telah di takdirkan, hari bahagia dimana seolah sesuatu telah menjamin seluruhnya akan berjalan secara istimewa, seperti yang kubaca dalam dongeng dan kulihat dalam film. Tapi nyatanya, pada akhirnya istilah ‘bahagia selamanya’ hanya ada di dalam film. Bahkan ketika kupikir kebahagiaan itu baru saja dimulai, bencana itu datang tanpa kata, berderai menghancurkan kebahagiaan kami menjadi bulir-bulir pasir.
Hari itu, dua puluh dua November. Tinggal tiga hari lagi hari bersejarah itu akan menjelang. Akhirnya pernikahanku dengan Irwan akan terselenggarakan. Mungkin tidak akan ada yang mengerti bagaimana bahagianya diriku sekarang. Setelah berbagai persiapan dilakukan di rumah Irwan yang ada di Batam, lalu hari minggu ini kami berencana untuk pulang ke Dumai, tempat tinggalku dimana pernikahan akan dilaksanakan. Dumai dan Batam memang terpisah oleh lautan. Maka mau tidak mau, kami menyeberanginya dengan kapal feri, Dumai Express 10 untuk pulang ke rumah.
Bersama Ibu dan nenek mertua, serta Irwan yang berada disampingku, kami berangkat siang hari. Hari itu begitu cerah, kuputuskan untuk pergi ke dek kapal sebentar untuk mencari angin. Sudah beberapa hari ini perasaanku terasa tidak nyaman. Kupikir ini hanyalah perasaan yang biasa dirasakan orang yang akan menikah, tetapi karna baru pertamakali merasakannya, aku tidak begitu mengerti. Aku meremas genggamanku pelan. Angin laut meniup-niup ikal-ikal rambutku pelan, sejuk angin meresap ke dalam urat-urat leherku.
“ Kinanthi, sedang apa kamu disini, nak? “ suara berat itu menyadarkan lamunanku. Aku menoleh, tersenyum seketika melihat siapa yang memanggil.
“ nenek? Hanya melihat pemandangan laut saja nek, bosan di dalam terus,” jawabku pelan. Nenek menghampiri sisi kananku, ikut berdiri sembari memandang lurus ke depan. Tangan kecilnya yang keriput meraih telapak tanganku dan mengusapnya pelan. Aku hanya tertegun memandangi nenek, bertanya-tanya.
“ jagalah Irwan dengan baik, Kinanthi,” nenek berkata dengan pelan, namun nadanya terlihat seperti bersungguh-sungguh. Aku terkejut, tidak bisa berkata apapun dan hanya dapat mengangguk. Beliau kemudian tersenyum dan berbalik, berjalan kembali menuju dek penumpang. Aku memandangi balik punggung rentannya, angin laut tetap bertiup kencang. Rasanya aku ingin cepat sampai ke rumah.
Ketika aku kembali ke dalam dek penumpang, tak kusangka hal buruk itu akan terjadi. Kapal tiba-tiba goyah, terombang-ambing di atas gelombang yang tiba-tiba meninggi. Aku berpegangan pada susuran tangan, sedikit gemetar. Para penumpang mulai agak panik, sibuk bertanya-tanya apa yang terjadi. Badan kapal tetap tak terkendali, gelombang makin tinggi dan menerjang lambung Dumai Express 10 ini. Irwan segera menarikku ke tempat duduk, mengambil jaket keselamatan dari bagasi penumpang dan memakaikannya pada ibunya beserta neneknya. Air bertambah naik, mulai masuk ke dalam kapal dan menggenang. Gelombang tak
jua reda, justru semakin lama semakin bertambah hebat.
Kupikir hanya aku saja yang merasa begitu, tetapi badan kapal seperti miring ke kanan. Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi aku sangat takut, benar-benar merasa takut. Otakku tidak bisa berpikir dengan baik, apa yang harus kulakukan sekarang di saat-saat genting seperti ini. Ibu mertua tetap duduk tenang di tempatnya, bersandar pada dinding kapal sembari membisikkan berbagai doa yang beliau ketahuinya, dan nenek melakukan hal yang sama. Irwan dan para penumpang lainnya berusaha membujuk nahkoda, supaya kapal ini dapat berlabuh di pelabuhan terdekat karena ombak tinggi. Namun sepertinya tak ada hasil. Ketika kami sibuk memprotes sang nahkoda,
Hal yang lebih buruk terjadi.
Air tiba-tiba masuk dengan kencang dari arah kanan. Sudah kuduga bahwa ada sesuatu masalah di lambung kapal. Aku makin dilanda rasa takut, sudah tak sempat memikirkan apa yang telah kami bawa sebelumnya asal kami selamat. Irwan meraih tanganku dan tangan ibunya dengan sigap, namun meleset ketika akan meraih tangan nenek. Air mulai memenuhi ruangan dan seketika Irwan langsung mendobrak pintu sebelah kiri dek penumpang dan mengevakuasi para penumpang.
Namun dalam seketika, ombak setinggi dua meter menghempas kapal itu dan terbalik, aku sudah tak tahu lagi apa yang terjadi, semua berlalu begitu cepat. Ketika aku membuka mata, aku telah berada di tengah-tengah laut, hanya dengan seutas jaket pelampung. Aku memaksakan diri untuk berenang ke arah atas dengan perasaan yang tidak tergambarkan. Yang pertama kupikirkan saat itu adalah keselamatan Irwan dan keluarganya. Bagaimana keadaannya? Semoga semuanya baik-baik saja.
Aku beruntung untuk pintar berenang. Aku berenang sekuat tenaga, tidak peduli dengan napasku yang telah sesak dan berat. Kutemukan Irwan, dengan tangis berderai kuraih kerah bajunya yang telah sedikit tenggelam dan kutariknya ke sampingku. Tak lama kemudian ia tersadar dan mulai merasa panik. Tentu saja, kapal dan seluruh isinya telah tenggelam dan kami sekarang ada di tengah-tengah lautan, tanpa harapan menunggu bantuan. Kapal kami bocor dan terbalik, kami terhempas ke dalam lautan, tahu-tahu saja kami telah ada di 3 kilometer dari tempat kapal itu tenggelam.
Pemandangan ini seperti medan perang. Ketika kami mendekat ke arah kapal, semakin banyak mayat-mayat berseliweran terapung disekitar kami. Sebagian korban ada yang masih hidup, yang dapat berenang bahu membahu menyelamatkan nyawa. Kemudian kami temukan ibu, beliau yang terluka sedang menangis pilu, berpegangan pada puing kapal dengan life jacket nya. Irwan bergegas ke arah sang Ibu, matanya menggenang walaupun seluruh tubuhnya telah basah. Ia memeluk sang Ibu dan menyuruhnya untuk tetap berpegangan.
Suasana kacau, ditambah lagi dengan banyaknya mayat yang ada disekitar kami, aku merasa kosong. Perasaanku begitu pilu hingga nyaris tak bisa merasakan apapun. Ingin menangisi nasibpun aku tak mampu, kurasa bukan saatnya hanya untuk terdiam di tengah lautan dan menangis pilu. Aku berpencar, berenang bersama beberapa orang di sekitar bangkai kapal untuk mencari Nenek Juwita, namun tak jua bertemu. Dadaku terasa sakit, karena terlalu banyak berenang serta tekanan batin yang tiba-tiba meruntuhi ku. Kenapa harus kami? Kenapa harus disaat-saat seperti ini?
“ BANTUAN DATANG! DATANG! “
seketika para korban selamat berteriak ketika helicopter bantuan TNI AL datang ke lokasi setelah tiga jam kami menunggu. Tanganku sudah seperti membeku, menggenggam tangan Irwan serta Ibu erat-erat. Tubuhku sudah lama menggigil, rasanya mungkin wajahku sudah pucat dan membiru. Tim Angkatan Laut beserta komandan yang memakai kapal kecil itu mengevakuasi penumpang. Yang terluka diangkut duluan, kami setelahnya. Kekhawatiranku tetap tak kunjung putus ketika kami telah kembali ke pelabuhan terdekat. Ibu dibawa ke rumah sakit, kami diberi selimut dan mengganti baju. Wartawan-wartawan TV dan kerumunan kamera mengerubungi tempat kami diperiksa di RS.
Tiba-tiba Ibu menangis, menangis kencang hingga korban lainnya mendengar. Ibu bertanya-tanya ‘ mengapa harus di hari ini? ‘ dan ‘dimana nenek? Pasti beliau selamat, bukan?’ dengan pilu. Aku tak sanggup lagi menatap ibu, air mataku sudah mengalir deras dibalik selimutku. Irwan yang sedikit terluka badannya hanya bisa termenung, meratapi nasib. Kami sudah tak lagi berendam di laut yang dingin itu, tetapi entah kenapa, rasa beku yang menusuk-nusuk itu masih tersisa di hati kami.
Aku mendengar dari balik pintu sang Komandan berkata pada wartawan, data penumpang masih simpang siur. Yang menghilang masih dua-puluhan orang begitu pula yang meninggal. Otakku mulai mengingat segalanya, memang kapal itu penuh sesak dengan orang. Life-jacket pun tak semua dapat memakainya. Mungkin itu salah satu sebab mengapa kapal itu bisa terhantam dan bocor karena keberatan penumpang. Otakku yang mulai mengingat segalanya membuatku menggigil. Aku tidak ingin ingat lagi dimana mayat-mayat itu terapung disekitarku dan tak lagi bergerak, aku tidak ingin ingat bahwa Nenek Juwita masih menghilang dan belum ditemukan. Perasaan itu begitu menusuk-nusuk.
Di kamar pasien yang penuh sesak ini aku baru dapat melihat wajah para penumpang dengan jelas. Banyak pula orang yang kehilangan keluarganya, tangisan bayi maupun tangisan orang dewasa riuh rendah, menyesakkan.
Aku melangkah keluar dari ruangan tersebut, berjalan keluar rumah sakit. Hari sudah mulai malam, seperti sudah tak ada harapan lagi pada korban yang hilang untuk selamat. Kakiku tiba-tiba terasa lumpuh. Dengan ini otomatis pernikahanku akan dibatalkan. Bahkan sedari tadi aku tak pernah memikirkannya. Hari yang kutunggu-tunggu hancur seketika dihantam gelombang pada hari cerah. Aku kehilangan banyak hal, baik materi maupun kerabat. Sosok nenek juwita tiba-tiba terbayang di kepalaku, berdenyut-denyut. Kebaikan hatinya yang baru kurasakan sementara hilang sudah. Aku terkulai lemas, seluruh tubuhku terasa sakit.
Apa memang di dalam realita hanya ada duka, ketika akhir bahagia telah direnggut oleh sebuah fiksi? Pertanyaan itu terus terulang dalam proyektor di keredupan otakku, berakhir tak terjawab.
______12may2011,01:07PM.
Thursday, May 12, 2011
Tak Pasti Cerah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment